Devide et Impera

Mengenal Taktik dan Strategi Orang Belanda

Devide et Impera (Del) diperkenalkan pertama kali di Nusantara oleh VOC, yaitu gabungan beberapa kongsi dagang milik Belanda di Hindia Timur. Orientasi VOC adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan menaklukkan raja-raja di Nusantara. Selain itu, VOC menguasai jalur perdagangan serta memonopoli perdagangan di Asia. VOC mengatur berbagai sektor di wilayah koloni mulai dari pertanian, perkebunan, transportasi persewaan distribusi logistik, dan sebagainya. Berbagai bukti sejarah mencatat penerapan pola strategi Del di wilayah Nusantara seperti Maluku, Aceh Sumatera Timur, Sumatera Barat, Jawa, dan wilayah lainnya.

Pendekatan awal biasanya dimulai dengan make friends and create common enemy (menjadi teman dan menciptakan musuh bersama). Make friends terjadi karena seseorang memiliki kesamaan atau identik dengan orang lain. Misalnya, kesamaan ras, persamaan etnik, kesamaan pemikiran, kesamaan fisik, persamaan ideologi, atau kesamaan agama. Adapun common enemy yang dimaksud adalah pihak lain yang menjadi saingan VOC.

Kedua, manajemen isu. Pola ini dilakukan dengan menebarkan selentingan kabar di lingkungan politik lokal maupun di lingkungan sosial yang lebih luas. Manajemen isu dapat berbentuk lisan dan tertulis, bersifat formal ataupun informal. Bentuk lain dari manajemen isu adalah propaganda, yaitu dengan memanfaatkan media massa dan laporan jurnalistik. Laporan jurnalistik telah beredar di Batavia sejak tahun 1676 dengan nama Cort Bericht Europe, serta Bataviase Nouvelles tahun 1744 yang memuat informasi dari berbagai negara di Eropa untuk pejabat VOC yang bertugas di Hindia Belanda.

Ketiga, Belanda bermain di dua sisi win-win solution. Belanda berpihak kepada dua kubu yang saling bertentangan seolah berada di posisi netral. Lazimnya digunakan terhadap suatu entitas politik yang sedang mengalami konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan. Pihak manapun yang akan menjadi pemenang, tetap saja Belanda diuntungkan. Pola ini terlihat diterapkan berkali-kali pada upaya penaklukan Aceh.

Keempat, merekrut pemimpin lokal sebagai bagian dari rantai manajemen terbawah di luar struktur perusahaan. Upaya ini dilakukan dengan memberikan pengakuan secara resmi dan tertulis, yang mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah seperti yang terjadi di Yogyakarta pada Perang Diponegoro dan kesultanan Melayu di Sumatera Timur.

Kelima, pengepungan dan embargo. Pola ini membuat suatu wilayah menjadi terisolasi. Mulai dari menutup akses komunikasi dan perdagangan hingga blokade militer yang ekstrem dengan membangun benteng dan fasilitas pertahanan lainnya.

Keenam, mengatur terjadinya perang saudara dengan cara menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya sendiri. Pola ini terlihat di Sumatera Barat tahun 1821-1837. Belanda berhasil memprovokasi kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri.

Ketujuh, excessive force dan extreme prejudice. Jika pendekatan secara halus tidak berhasil, alternatif terakhir adalah kekerasan. Titik pendekatan ini melibatkan hukum simbolik, seperti penyiksaan, hukum gantung, sampai melakukan serangan penuh yang melibatkan seluruh kekuatan militer.

Sumber: http://repositori.kemdikbud.go.id/19194/1/2014%20-%20devide%20et%20impera.pdf

By herykita Dikirimkan di Budaya